BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“Al-Qur’an memberikan kemungkian arti yang tak terbatas.
Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan
tertutup dalam interpretasi tunggal”
(Muhammad Arkoun)
Betapa indah gambaran Muhammad Arkoun dalam menjelaskan
Al-Qur’an. Sepanjang zaman Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan
penafsiran (interpretasi baru) sesuai background sang penafsir. Pendapat Muhammad Arkoun di atas, dapat kita buktikan
dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam dan Mutasyabih.
Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang sejarah
penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai
hakikat Muhkam dan Mutasyabih.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata Muhkam dan Mutasyabih. Pertama, lafal Muhkam
, terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه....
Sebuah Kitab yang
disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya....
Kedua, lafal Mutasyabih terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
...كِتَابًا مُتَشَـابِهًا
مَّـثَانِيْ....
....(yaitu) Al-Qur’an yang
serupa (Mutasyabih) lagi berulang-ulang....
Ketiga, lafal Muhkam dan Mutasyabih sama-sama disebutkan
dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S.
Ali Imran [3]: 7:
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ
ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا
تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ
امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا…
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu,
diantaranya ada ayat-ayat Muhkamat yang merupakan induk dan lainnya
Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
mencari-cari ta’wilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali
Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat
yang Mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami”...
Berdasarkan tiga ayat
tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang
masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Muhkam berdasarkan ayat pertama. Kedua berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Mutasyabih
berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an
Muhkam dan lainnya Mutasyabih
berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan
dengan Muhkam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya
pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud Mutasyabih dalam ayat kedua
adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan
dan kemukjizatannya.
Dalam makalah ini, akan dibahas pendapat-pendapat para
ulama ahli tafsir mengenai hakikat ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka, kami mengambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian Muhkam dan Mutasyabih?
2.
Bagaimana Kriteria Ayat-ayat Muhkam
dan Mutasyabih?
3.
Apa Sebab-sebab
Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
4.
Macam-macam
Ayat Mutasyabih
5.
Bagaimana Pandangan
dan Sikap Ulama’ dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.
Bagaimana Metode
Memahami Ayat – Ayat Mutasyabih
7.
Apa Hikmah
Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Apa
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
2.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Kriteria
Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.
Untuk Mengetahui Apa Sebab-Sebab
Terjadinya Tasyabuh Dalam Al-Qur’an.
4.
Untuk Mengetahui Macam-Macam
Ayat Mutasyabih
5.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Pandangan dan Sikap
Ulama’ Dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Metode Memahami Ayat– Ayat Mutasyabih
7.
Untuk Mengetahui Apa Hikmah
Diturunkannya Ayat Muhkam dan
Mutasyabih
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“Al-Qur’an memberikan kemungkian arti yang tak terbatas.
Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan
tertutup dalam interpretasi tunggal”
(Muhammad Arkoun)
Betapa indah gambaran Muhammad Arkoun dalam menjelaskan
Al-Qur’an. Sepanjang zaman Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan
penafsiran (interpretasi baru) sesuai background sang penafsir. Pendapat Muhammad Arkoun di atas, dapat kita buktikan
dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam dan Mutasyabih.
Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang sejarah
penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai
hakikat Muhkam dan Mutasyabih.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata Muhkam dan Mutasyabih. Pertama, lafal Muhkam
, terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه....
Sebuah Kitab yang
disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya....
Kedua, lafal Mutasyabih terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
...كِتَابًا مُتَشَـابِهًا
مَّـثَانِيْ....
....(yaitu) Al-Qur’an yang
serupa (Mutasyabih) lagi berulang-ulang....
Ketiga, lafal Muhkam dan Mutasyabih sama-sama disebutkan
dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S.
Ali Imran [3]: 7:
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ
ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا
تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ
امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا…
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu,
diantaranya ada ayat-ayat Muhkamat yang merupakan induk dan lainnya
Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan
mencari-cari ta’wilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali
Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat
yang Mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami”...
Berdasarkan tiga ayat
tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang
masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Muhkam berdasarkan ayat pertama. Kedua berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Mutasyabih
berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an
Muhkam dan lainnya Mutasyabih
berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan
dengan Muhkam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya
pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud Mutasyabih dalam ayat kedua
adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan
dan kemukjizatannya.
Dalam makalah ini, akan dibahas pendapat-pendapat para
ulama ahli tafsir mengenai hakikat ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka, kami mengambil rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian Muhkam dan Mutasyabih?
2.
Bagaimana Kriteria Ayat-ayat Muhkam
dan Mutasyabih?
3.
Apa Sebab-sebab
Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
4.
Macam-macam
Ayat Mutasyabih
5.
Bagaimana Pandangan
dan Sikap Ulama’ dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.
Bagaimana Metode
Memahami Ayat – Ayat Mutasyabih
7.
Apa Hikmah
Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Apa
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
2.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Kriteria
Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.
Untuk Mengetahui Apa Sebab-Sebab
Terjadinya Tasyabuh Dalam Al-Qur’an.
4.
Untuk Mengetahui Macam-Macam
Ayat Mutasyabih
5.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Pandangan dan Sikap
Ulama’ Dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Metode Memahami Ayat– Ayat Mutasyabih
7.
Untuk Mengetahui Apa Hikmah
Diturunkannya Ayat Muhkam dan
Mutasyabih
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Muhkam dan Mutasyabih
Secara
etimologi kata “muhkam” berasal dari kata “ ihkam” yang berarti
kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Semua pengertian ini
rapada dasarnya kembali kepada satu makna pencegahan.[1]
“ Muhkam”
dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas,
fasih, dan bermaksud membedakan antara dua pihak yang bersengketa, serta
memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat.[2]
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni
bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal
itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara konkrit atau abstrak.[3]
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa
dengan lainnya, yang biasanya dapat membawa kepada kesamaran antara kedua hal
itu. Syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal tidak dapat
di bedakan karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak. Mutasyabih
juga kadang-kadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan
keindahan.[4]
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian Muhkam
dan Mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang
diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1). Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya
lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih
ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli
maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya,
seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih
al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab
Hanafi.
2). Muhkam
ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui
takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui
maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang
terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini
dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan
mereka.
3). Muhkam ialah
ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih
ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini
dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muhkam ialah
ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih
ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu
dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula
karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari
Imam Ahmad. r.a.
5). Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya
yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih
ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila
ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk
ke dalam Mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan
kepada Imam Al-Haramain.
6). Muhkam ialah
ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya Muhkam atas ism-ism
(kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah
(samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muhkam
ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir.
Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal,
muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi
dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan
menyimpulkan bahwa Muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas.
Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk
memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[5]
2. Kriteria Ayat-ayat Muhkam
dan Mutasyabih
Perbedaan pengertian Muhkam dan Mutasyabih
yang telah disampaikan para ulama di atas, nampak tidak ada kesepakatan yang
jelas antara pendapat mereka tentang Muhkam dan Mutasyabih,
sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan
Mutasyabih.
J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang
berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat Muhkamat adalah apabila
ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).[6]
Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat
sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat
yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung
kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara
yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel,
ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh
diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat
sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya
hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan
sarana bantu, baik dengan ayat-ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun
ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan
hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh
orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah
untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama
dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.
Muhkam menyangkut soal hukum-hukum (faraid), janji, dan
ancaman, sedangkan Mutasyabih mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.[7]
3.
Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
Secara
tegas dapat dikatakan, bahwa adanya ayat muhkam dan mutasyabih itu karena Allah
SWT. yang menjadikannya demikian itu. Allah Memisahkan / membedakan antara ayat
– ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikannya ayat
yang muhkamat sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat.
4.
uqè üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ( Qs, Al-Imran : 7 ).
Sebagian
ulama berpendapat, bahwa ayat ayat mutasyabbihat tidak dapat diketahui
takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka mewajibkan agar orang
tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan itu hanya kepada Allah
SWT. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya berucap” kami
mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.[8]
Sebab-sebab
terjadinya tasyabuh menurut pendapat para ulama’ ialah disebabkan oleh
ketersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya itu sendiri.
Adapun pendapat para ulama’ mengatakan bahwa
penyebab adanya tasyabuh karena tiga hal yaitu, kesamaran pada lafal
ayat, kesamaran pada makna ayat, dan kesamaran pada lafal sekaligus makna ayat
itu sendiri.
1. Kesamaran
pada lafal ayat
Adanya
sebagian ayat-ayat mutasyabihat didalam Al-Qur’an disebabkan oleh
kesamaran pada lafal, baik lafal mufrad maupun lafal murakkab.
a. Kesamaran
pada lafal mufrod
Adapun
yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad ini adalah adaya lafal tunggal yang maknanya
tidak jelas, baik disebabkan oleh gharib ataupun musytarak
(bermakna ganda). Kesamaran makna yang kembali kepada lafal mufrod yang gharib,
misalnya firman Allah dalam surat ‘Abasa (80: 31-32), yaitu,
ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ $Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ
b. Kesamaran
pada lafal murakkab
Kesamaran
pada lafal murakkab kadang-kadang disebabkan karena lafal-lafal semacam
itu terlalu ringkas, panjang atau luas, atau karena”susunan kalimatnya terkesan
tidak runtut”. Namun maksud ayat ini akan dapat diketahui melalui penelitian
dan pengkajian. Contoh lafal ayat mutasyabih murakkab yang terlalu ringkas, dapat dijumpai antara
lain dalam firman-Nya surah An-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB
y]»n=èOur yì»t/âur (
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
2. Kesamaan
pada makna ayat
Kesamaran
atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat, umumya adalah berupa
ayat-ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat
yang demikian antara lain dapat disimak dalam firman-Nya:
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$# ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia
kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di
atas tangan mereka.(Al-fath:10).
3. Kesamaran
pada lafal dan makna ayat sekaligus
Dalam
hubungannya dengan kesamaran pada lafal dan makna ayat tersebut, terdapat lima
aspek yang terkait dengannya, yaitu:
a. Aspek
kuantitas (al-kammiyah), baik yang berkaitan dengan masalah-masalah yang
umum maupun yang khusus. Mengenai hal ini dapat disimak dalam firman Allah:
#sÎ*sù yn=|¡S$# ãåkôF{$# ãPãçtø:$# (#qè=çGø%$$sù tûüÏ.Îô³ßJø9$# ß]øym óOèdqßJ?y`ur ÇÎÈ
. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram
itu[630], Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka.
Dalam
hal ini batas kuantitas yang harus dibunuh masih belum jelas atau samar-samar.
b. Aspek
cara (al-kaifiyah). Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah mengenai
cara melaksanakan kewajiban yang diperintahkan agama atau kesunahannya,
misalnya dalam firman Allah:
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ÎTôç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# üÌò2Ï%Î! ÇÊÍÈ
Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk
mengingat Aku.
Dalam
ayat tersebut terdapat kesamaran dalam
hal bagaimana cara agar selalu dapat mengingat Allah SWT.
c. Aspek
waktu (al-wakt, al-zaman) dalam hal yang berkaitan dengan aspek waktu
ini, kesamaran atau ketersembunyiannya terletak pada keumuman dari petunjuk
yang dibawakan oleh ayat Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya dalam firman-Nya surah
al-Imron ayat 102:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è?
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa .
Ayat
tersebut memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu bertakwa
dalam waktu yang tidak terbatas. Waktu yang tidak terbatas tesebut mengandung
unsur kesamaran. Samapi kapan batas waktunya bertakwa itu, tidak dijelaskan.
d. Aspek
tempat (al-makn). Aspek tempat
memang terkait erat dengan ketersembunyian atau kesamaran lafal dan makna yang
terdapat pada ayat mutasyabbihaat itu. Sebagaiman firman Allah dalam surat al-
Bakaroh ayat 189:
3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß
Dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya.
e. Aspek
syarat (syarath-masyruth). Yang dimaksudkan disini adalah syarat-syarat
dalam melaksanakan suatu kewajiban, baik mengenai ibdah maupun mu’amalah todak
dirinci dalam ayat-ayat tersebut. Misalnya dalam hal shalat, puasa, haji, nikah
dan sebagainya.[9]
4.
Macam-macam Ayat Mutasyabih
Al-Zarqani membagi ayat-ayat Mutasyabihat menjadi
tiga macam.[10]
a.
Ayat-ayat yang seluruh
manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat
Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal
gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ
الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ....
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib;
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri....
b.
Ayat-ayat yang setiap
orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti
ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang,
urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’(4:3)
وَاِنْ
خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ....
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi....
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul
karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ
تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ...
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka,
maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
c.
Ayat-ayat Mutasyabihat
yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu
Abbas:
اَللَّهُمَّ
فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam
Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
5.
Pandangan dan Sikap Ulama’ dalam Menghadapi
Ayat Mutasyabih
Sedang
menurut para ulama berbeda – beda dalam memberikan pengertian al-muhkan
dan al-mutasyabih diantaranya sebagai berikut :
a. Ulama
Ahlus sunnah wal jama’ah mengatakan lafadz muhkam adalah lafadz yang
diketahui ma’na maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena
dengan di ta’wilkan. Sedang lafadz mutasyabih adalah lafadz yang
pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bisa
mengetahuinya. Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, artti dari
huruf – huruf muqatha’ah.
b. Ulama
golongan Hanafiyah mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas
petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinaskh (dihapus hukumnya). Sedang lafadz mutasyabih
adalah lafadz yang sama maksud petunjuknya sehingga tidak terjangkau oleh akal
pikiran manusia ataupun tidak tercantum dalam dalil-dalil naskh. Sebab lafadz mutasyabih
itu termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti
hal-hal yang ghaib.
c. Mayoritas
ulama golongan ahlu fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas
mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang tidak bisa dita’wil kecuali
satu arah / segi saja. Sedangkan lafadz mutasyabih adalah artinya dapat
dita’wilkan dalam beberapa arah / segi, karena masih sama. Seperti masalah
surga, neraka, dan sebagainya.[11]
6.
Metode Memahami Ayat – Ayat Mutasyabih
Para
Ulama dalam mamahami ayat – ayat mutasyabihat yang terdapat dalam
al-Qur'an khususnya ayat – ayat mengenai sifat – sifat Allah terbagi dalam dua
aliran.
a. Madzhab salaf,
yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka ketika menghadapi ayat mutasyabihat
berusaha untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertiannya hanya
kepada Allah SWT.
Bagi
kaum salaf, ayat – ayat mutasyabihat tidak perlu dita'wilkan.
Sebab yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT, mereka hanya berusaha
mengimaninya.
b. Madzhab khalaf,
yaitu para ulama berikutnya generasi berikutnya, seperti Imam Huramain. Mereka
berpendapat bahwa ayat – ayat mutasyabihat yang secara lahir mustahil
bagi Allah SWT. harus ditetapkan maknanya dengan pengertian yang sesuai dan
sedekat mungkin dengan dzat-Nya..
Mereka
menta'wil lafdz istiwa' (besemayam) dengan maha berkuasa menciptakan
sesuatu tanpa susah payah. Kalimat ja'a rabbuka (kedatangan Allah) dalam
Qs. Al-Fajr : 22, dita'wilkan dengan kedatangan perintah-Nya. Kata fauqa
(diatas) didalam Qs. Al-An'am : 61, dengan ketinggian yang bukan arah atau
urusan dan lain sebagainya.[12]
7.
Hikmah Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Ada pepatah yang mengatakan, khudil hikmata min ayyi
wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitu pun dalam
masalah Muhkam dan Mutasyabih.
Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil
dari persoalan Muhkam dan Mutasyabih tersebut, hikmah-hikmah itu
adalah:
a. Andaiakata seluruh ayat
Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian
keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
b. Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyabihat,
niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia
orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah,
segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan
kebatilan.
لاَ
يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ
حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik
dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana
lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fussilat [41]: 42)
c. Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat Muhkamat dan
ayat-ayat Mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk teus
menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari
taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
[13]
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya Muhkam dan Mutasyabih sebenarnya merupakan
ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan,
karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada
yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan
bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada
spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya
saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang
melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.[14]
- Muhkam
1. Menjadi rahmat
bagi manusia, khususnya yang kemampuan bhs. Arabnya lemah. Sebab arti dan
maknanya sudah cukup terang dan jelas.
2. Memudahkan
manusia mengetahui arti dan maksudnya serta menghayatinya.
3. Mendorong
umat untuk giat memahami, menghayati dan mengamalkan isi al-Qur'an sebab
ayatnya mudah dimengerti dan dipahami.
4. Menghilangkan
kesulitan dan kebingungan umatdalam mempelajari isinya.
5. Mempercepat
usaha tahfidzul Qur'an.[15]
- Mutasyabih
1. Rahmat
Allah, sebab sifat dan dzat Allah itu ditampakkan kepada manusia yang lemah,
tidak mengetahui segala sesuatu.
2. Sebagai
bagian dari ujian kepada manusia, apakah dia akan tetap beriman terhadap
kabar-kabar yang hak itu, atau malah berpaling.
3. Menampilkan
dalil atas keberadaan manusia sebagai makhluk yang lemah dan menampilkan syahid
terhadap kekuasaan Allah15
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß w zNù=Ïæ !$uZs9 wÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana". ( Qs.
Al-Baqarah : 31 )
4. Menegaskan
Kemukjizatan al-Qur'an.
5. Memudahkan
bacaan, hafalan, dan pemahaman al-Qur'an. Sebab adanya ayat mutasyabihatmutasyabihat
sulit dimengerti, maka orang akan banyak berfikir.
6. Menambah
pahala usaha manusia dengan menambah sukarnya memahami ayat – ayat mutasyabihat.[16]
Kalau hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan,
setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” Muhkam dan Mutasyabih kepada
manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap individu,
sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya
meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang dapat
diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun yang
dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah:
1.
Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika
kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan
pentakwilan.
2.
Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu
ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud
ayat-ayat itu.
3.
Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu
kajian dalam al-qur’an yang para ulama menilainya dengan alasannya
masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
4.
Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu
Muhkam. Jika maksud Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula
mengatakan bahwa semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu
adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah
dan I’jaznya.
2. Saran
Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi
dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi
sebagai bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabih sebagai ayat yang tersirat merupakan
bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar[17] sepanjang sejarah manusia yang tidak akan
habis-habisnya untuk dikaji dan di teliti. Sebagai ummat Islam hendaknya
kita lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat tersebut
dalam bentuk yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman dalam seiap
langkah kita.
Akhirnya, Wallahu
a’lam bi as-Sawab.
[1] Usman.Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras. 2009,
hal.220.
[2] Ibid.hal.220.
[3] Muhammad Chirzin.
2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, hal. 70.
[4] Usman. Hal 220-221.
[8] Usman, opcit, hal 228.
[9] Usman, Opcit, hal 237-239
[11] Drs.
Miftah Faridl, Drs. Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama,
Bandung, Pustaka, 1989, hlm., 241
[13] Muhammad chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[14]Yusuf, Qardhawi. 1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi
Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press.
hal. 226.
[16] Drs.
Miftah Faridl, Drs. Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama,
Bandung, Pustaka, 1989, hlm., 167
Tidak ada komentar:
Posting Komentar