BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama islam adalah agama penutup
dari semua agama yng diturunkan berdasarkan wahyu ilahi (al-qur’an) kepada Nabi
Muhammad saw. Melalui malikat jibril. Agama tersebut diajarkan kepada seluruh
umat manusia sebagai way of life(pedoman hidup) lahir batin dari dunia sampai
akhirat sebagai agama yang sempurna, sebagaimana firmana Allah SWT dalam surah
Al-Maidah ayat 3:
4 tPöquø9$#
àMù=yJø.r&
öNä3s9
öNä3oYÏ
àMôJoÿøCr&ur
öNä3øn=tæ
ÓÉLyJ÷èÏR
àMÅÊuur
ãNä3s9
zN»n=óM}$#
$YYÏ
4ÇÌÈ
3.
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.
Dengan firman Allah tersebut tegaslah bahwa agama diturunkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW. Adalah agama islam. Sedangakan Muhammad saw. Adalah
Nabi penutup dari seluruh nabi.[1]
Berhubungan dengan hal tersebut agama islam meninggalan hukum yang
nantinya akan memberikan peraturan kepada umatnya.
Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi
penting dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling
tipikal dan paling konkrit dari Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian
pentingnya hukum Islam dalam skema doktrinal Islam sehingga seorang orientalis,
Joseph Schacht menilai bahwa “adalah mustahil memahami Islam tanpa hukum Islam.[2]
Dalam konteks apapun, tarikh (sejarah) dianggap sebagai entitas
yang sangat mendasar dalam kehidupan yang sangat varian dan dinamis. Akumulasi
perilaku sosial keagamaan maupun perilaku sosial lainnya dalam kehidupan
masyarakat plural dapat diamati dan dikritisi melalui fakta empiric peninggalan
sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian semua perilaku sosial, baik perilaku
positif maupun negative akan dapat dilacak melalui data-data historis.[3]
Akantetapi pembahsan dalam makalah ini akan membahas mengenai sejarah
pembentukan hukum islam pada masa tabi’in.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian tasyri’?
2.
Apa
pengertian tabi’in?
3.
Bagaimana
perkembangan tasyri’ pada masa tabi’in?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian tasryri’
2.
Untuk
mengetahui pengertian tabi’in
3.
Untuk
mengetahui bagaimana oerkembangan hukum islam pada masa tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Tasyri’
Kata tasyri’ adalah bentuk mashdar
(verbal noun) darikata kerja syarra’a yang berarti membuat syari’at. Penutur
ahli bahasa Arab menggunakan kata ini untuk dua arti berikut.
a.
Jalan
yang lurus. Arti ni bisa kita lihat pada firman Allah SWT:
¢OèO
y7»oYù=yèy_
4n?tã
7pyèΰ
z`ÏiB
ÌøBF{$#
$yg÷èÎ7¨?$$sù
wur
ôìÎ7®Ks?
uä!#uq÷dr&
tûïÏ©$#
w
tbqßJn=ôèt
ÇÊÑÈ
18. Kemudian kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
Mengetahui.[4]
b.
Air
mengalir yang biasa digunakan untuk minum, sebagaimana ucapan orag Arab:
Syara’at al-ibil berarti (unta itu tengah pergi mencari tempat air).[5]
Sedangkan menurut terminology
fuqaha’, kata syariat dipakai untuk menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah kepada hamba-Nya melalui lisan seorang rasul..
Kata syari’at dengan makna istilah
mencakup semua syari’at yang dibawaoleh para rasul. Dengan demikian ia mencakup
semua syari’at yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Dan
semuanya dinamakan syariat.[6]
Jadi dapat kita simpulkan bahwa yang
dinamakan dengan tasyri’ adalah segala sesuat yang diturunkan oleh Allah yang
menjadi hukum bagi umat islam.
2.
Pengertian
Tabi’in
Sebelum kita membahas mengenai
keadaan hukum islam pada masa tabi’in, maka perlu kita mengetahui pengertian
dari tabi’in itu sendiri. Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia
sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak
darinya.[7]
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda
Rasulullah SAW sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat
Rasulullah SAW. Selain itu juga tidak diisyaratkan harus bertemu dengan sahabat
seperti yang dikuatkan oleh ulama hadis, tidak diisyaratkan harus meriwayatkan
hadis dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia
sudah berusia tamyiz (baligh).
Al Quran telah memberikan isyarat tentang adanya tabi’in dalam
firman Allah SWT:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At- Taubah (9) : 100)
Firman Allah SWT ”Dan oran[8]g-orang
yang mengikuti mereka” merupakan isyarat yang jelas akan keberadaan tabi’in.
Merujuk penamaan ini, tabi’in adalah semua orang yang pernah bertemu
dengan sahabat, baik murid, kawan dari berbagai penjuru dunia yang datang ingin
mendengar fatwa, menghimpun ucapan, perbuatan, dan mengetahui segala keputusan
mereka dalam berbagai permasalahan yang diperdebatkan, mereka menjadi lembaran
hidup bagi setiap ucapan dan perbuatan sahabat.
Al Quran telah
mengabadikan kedudukan dan keagungan
para tabi’in dalam ayat di atas di mana Allah menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti
para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan
penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in.[9]
3.
Hukum Islam pada Masa
Tabi’in
Hukum islam pada masa
tabi’in ini dikenal juga dengan nama masa pembinaan, pengembangan, dan
pembukuan (abad 7-10 M). periode ini berlangsung lebih kurang 250 tahun
lamanya,dimulai pada bagian kedua abad ke-7 sampai abad ke-10 Masehi. Dilihat
dari kurun waktu ini, pembinaan dan pengembangan hukum islam itu dilakukan di
masa pemerintahan Khalifah Umayyah dan (662-750) dan khalifah Abbasiyah
(750-1258).[10]
A.
Hukum Islam pada Masa
Dinasty Bani Umayyah
Periode ini dimulai ketika para khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan
kaum muslimin setelah terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41
hijriah, dan berakhir pada awal abad kedua hijriah sebelum berakhirnya Dinasty
Bani Umayyah pada tahun 132 hijriah.
Pada zaman ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa dan perkembangan,
perbedaan fiqh, dan pergolakan politik karena sejak zaman awal berdirinya
dinasti ini kaum muslimin terpecah kepada tiga golongan:
a. Syiah, yaitu orang-orrang yang sangat fanatik dengan Ali binAbi Thalib.
Mereka menganggap khalifah hanya untuk Ali dan keturunannya sehingga urusan
khilafah menurut mereka sama dengan warisan dari Nabi saw. dan bukan dengan
cara bai’at.
b.
Khawarij, yaitu mereka yang kecewa dengan adanya proses tahkim (perdamaian)
pada zaman Khalifah Muawiyah lalu mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah, dan
mayoritas mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil
mutlak, tegas dan keras, dan tidak harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab.
c.
Jumhur kaum muslimin, yaitu kaum moderat yang memilki sifat adil dan tidak radikal. Mereka
berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun harus dipilih oleh
kaum muslimin dengan cara bai’at. Perbedaan politik ini telah memberikan
pengaruh yang besar terhadap perjalanan aliran fiqh yang berkembang pada zaman
berikutnya.[11]
Perpecahan Politik dan Aliran Pemikiran
Sudah kami jelaskan sebelumnya bahwa perbedaan antara kaum muslimin tentang
masalah khilafah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib AS telah mengakibatkan
barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok.
Walaupun perpecahan yang terjadi di antara kelompok-kelompok di atas yang
merupakan perpecahan politik, namun juga berimbas kepada aliran-aliran fiqh.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan mereka tentang sumber-sumber hukum fiqh,
karena ada beberapa masalah fiqh yang berkaitan dengan keyakinan (akidah)
politik dan inilah yang akan kami jelaskan dalam subbab ini walaupun hanya
secara ringkas tentang masing-masing golongan tersebut.
1) Khawarij
Istilah ini merujuk pada aksi desersi sebagian pasukan dari kubu Ali dalam
Perang Shiffin pada tahun 27 hijriah antara pasukan Ali dan Muawiyah. Ketika
itu Muawiyah sudah merasa akan kalah, kemudian tentaranya mengangkat mushaf
sebagai tanda agar mereka mengembalikan keputusan kepada Alquran dan Ali bin
Abi Thalib pun menerimanya. Hal tersebut kemudian berimbas kepada keluarnya
sebagian kaum muslimin dari pasukan Ali karena mereka menolak persetujuan damai
dan inilah sebab dari dinamakannya kelompok ini sebagai khawarij atau karena
mereka keluar berjihad di jalan Allah. Mereka dipimpin oleh seorang dari
mereka, yaitu Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi.
Kelompok ini memiliki beberapa doktrin penting, di antaranya sebagai
berikut :
a. Mereka menjadikan khilafah sebagai
hak bagi setiap muslim, tidak hanya terbatas untuk kelompok tertentu seperti Ahli
Bait atau orang-orang Quraisy atau Arab bahkan gelar khalifah boleh
disandang oleh siapa saja bahkan hamba sahaya sekalipun. Pemilihan harus
dilakukan secara umum dan terbuka dari semua kalangan dan khalifah boleh lebih
dari satu jika ada pendukungnya. Orang-orang Khawarij mewajibkan semua kaum
muslimin untuk keluar menentang seorang imam (pemimpin) yang lazim dan
memerangi segala bentuk kemungkaran, kezaliman, dan kerusakan.
b. Orang-orang Khawarij mengingkari qiyas dan
tidak menganggapnya sebagai sumber hukum syariat. Mereka yang menolak ijma’ dan
tidak dapat dijadikan dasar hukum, yang menjadi dasar adalah sandaran ijma’
jika memang tampak, dan jika tidak tampak maka ijma’ tidak dapat dijadikan
dalil.
c. Sebagian mereka ada yang mengingkari
hukum-hukum syariat yang telah ditetapkan berdasarkan ijma’ seperti
menggugurkan hukuman rajam bagi seorang pezina, padahal Rasulullah SAW dan para
sahabat pernah melakukan itu dan mereka juga menggugurkan hukuman qazaf bagi
kaum laki-laki, padahal mereka tahu hukuman qazaf telah ditetapkan
kepada orang yang menuduh berzina kaum musliman dan tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Mereka juga mewajibkan memotong tangan seorang
pencuri, baik barang yang dicuri sedikit atau banyak, dan tidak menetapkan
batasan (nisab) tertentu terhadap harta yang dicuri.
Kaum Khawarij telah terpecah-pecah menjadi sekte-sekte kecil yang cukup
banyak jumlahnya, namun yang paling terkenal dan dekat dengan Ahli Sunnah wal
Jama’ah adalah sekte Ibadhiyyah, yaitu pengikut Abdullah bin Ibadh, juga Al-
Muhakkimah Al- Ula, dan Azariqah; pengikut Abi Rasyid Nafi’bin Azraq.
2) Syiah
Para pengikut setia Ali menilai bahwa Ali adalah orang yang paling berhak
dengan khilafah daripada yang lainnya setelah baginda Rasulullah SAW wafat.
Namun, hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk mengakui kepemimpinan
siapa-siapa yang dipilih oleh kaum muslimin seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan
setelah Ali meninggal karena pemberontakan maka kelompok yang mengatasnamakan
cinta Ali bin Abi Thalib semakin bertambah yang kemudian berubah menjadi sebuah
fanatisme yang berlebih-lebihan, sehingga ada yang mengatakan khilafah setelah
Ali harus diwariskan kepada anak keturunannya dan jika tidak diberikan kepada
mereka, berarti berbuat zalim dan berpura-pura tidak tahu. Pemahaman seperti
ini sudah menyebar dan dianut oleh sebagian kaum muslimin, dan sejalan dengan
perkembangannya, orang-orang yang mengatasnamakan Ali ini kemudian dinamakan
Syiah.
Kaum Syiah terpecah menjadi beberapa kelompok, dan diantara yang paling
terkenal adalah :
a.
Zaidiyyah, yaitu mereka yang dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin Al-Husen bin Ali
bin Abi Thalib dan kelompok ini lebih dekat dengan Ahli Sunnah wal jama’ah.
b.
Imamiyah Itsna’asyariyah, dinamakan begitu karena mereka membatasi imam
(pemimpin) kepada dua belas orang, yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan
yang terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi yang belum mati, bersembunyi, dan akan
muncul di akhir zaman untuk memenuhi bumi ini dengan keadilan yang sebelumnya
penuh dengan kezaliman.
c.
Isma’iliyah, mereka berpendapat bahwa kepemimpinan setelah Ja’far bin Muhammad bin
Ash-Shadiq hanya terbatas pada anaknya yang besar, Ismail, kemudian diteruskan
oleh anak-anaknya.
Kalangan Syiah juga mempunyai beberapa aliran fiqh yang berbeda dengan kaum
muslimin, di antaranya sebagai berikut :
a.
Membolehkan nikah mut’ah
dengan dalil firman Allah SWT: Maka istri-istri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), dan kita tahu bahwa mayoritas ulama Islam mengharamkan nikah ini
dan menilai ayat ini ditujukan untuk nikah yang sudah diketahui umum sesuai
dengan susunan redaksi ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang akad yang sudah
biasa dilakukan, setelah sebelumnya ayat membahas tentang wanita yang haram
dinikahi. Dan mahar dinamakan upah juga disebutkan dalam ayat yang lain, firman
Allah SWT: Maka nikahilah wanita-wanita itu dengan izin walinya dan
berikanlah upah mereka, yaitu mahar, artinya mahar mereka dan jumhur ulama
mengatakan haram nikah mut’ah karena Rasulullah sudah mengharamkannya
berdasarkan riwayat terakhir dari beliau.
b.
Orang Syiah
mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab berdasarkan firman Allah
SWT: Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) wanita-wanita
yang kafir, dan bertentangan dengan pendapat jumhur ulama yang
membolehkannya berdasarkan Firman Allah SWT: Dan makanan orang-orang yang
diberi kitab adalah halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kaum mukminat dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.
c.
Dalam pemakaian sunnah
sebagai sumber hukum, orang Syiah tidak mengambilnya kecuali hadis-hadis yang
datang dari periwayatan ahli bait dan para pengikutnya. Adapun ijma’,
mereka menolaknya sebagai sumber hukum bagi perundang-undangan Islam karena
mengamalkan ijma’, sama artinya dengan mengabaikan pendapat sahabat yang
lain atau tabi’in.
d.
Mayoritas orang Syiah
menolak qiyas karena ia berupa pendapat pribadi, dan agama tidak dikaji dengan
pendapat pribadi, namun diambil dari Allah dan Rasul-Nya serta para imam yang maksum.
3) Jumhur Kaum Muslimin
Yaitu orang-orang yang bersikap abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan
terjun ke dalam pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan
Ali dan para lawan politiknya.
Kelompok ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus
serta kajian yang tepat dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti
terhadap ajaran syariat berdasarkan penjelasan Alquran dan sunnah yang suci
serta riwayat-riwayat dari para sahabat, serta menghindari segala pengaruh
fitnah yang terjadi di antara sahabat di akhir Khalifah Ali.
Metode yang dipakai oleh jumhur kaum muslimin ini pada akhirnya melahirkan
dua aliran dalam meng-istinbat hukum syariat.
Pertama, kelompok yang berpegang
pada zhahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli
hadis (kaum literalis).
Kedua, aliran yang mencari illat-illat hukum dan
hikmahnya dari nash-nash baik Alquran dan sunnah dan kelompok ini
dinamakan ahli ra’yi (kaum rasionalis).
Berikut ini akan kami jelaskan tentang dua aliran tersebut.
V. Peningkatan
Kreativitas Fiqh pada Masa Bani Umayyah
Periode ini memiliki ciri khas, banyaknya ulama yang memberi fatwa selain
banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh para ahli fiqh. Ruang perbedaan fiqih
pun semakin meluas sebagai bukti bahwa aktivitas fiqih pada zaman ini meningkat
dibanding sebelumnya seperti zaman sahabat.
Meningkatnya aktivitas fiqih pada zaman ini disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain :
Menyebarnya Para Sahabat Ke Seluruh Pelosok Wilayah
Umar bin Khaththab melarang para pembesar sahabat terutama mereka yang
terkenal sebagai ahli ra’yi untuk meninggalkan kota Madinah, kecuali
dalam keadaan darurat seperti memimpin pasukan dan memimpin negeri-negeri. Hal
tersebut dikarenakan mereka memang menganut sistem syuro, dan komitmen Umar ini
sampai pada jika ada masalah yang muncul, ia mengemukakannya kepada ahli ra’yi
dengan cara mengirimkan surat dan hal ini sudah tentu memberikan pengaruh
positif bagi lahirnya ijma’ terhadap masalah yang muncul pada zamannya.
Dengan cara ini kota Madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan politik
bagi negara Islam karena para sahabat menetap di dalamnya.
Perbedaan adat istiadat, hubungan sosial, keadaan dan taraf hidup, jenis
pekerjaan baik pertanian dan perdagangan, ilmu, dan wawasan telah memberikan
pengaruh yang besar terhadap perbedaan masalah fatwa pada satu negeri dengan
negeri yang lain, dan sulit untuk membangun komunikasi karena jarak tempuh yang
jauh serta sarana transportasi yang minim. Selain itu, walaupun ada
masalah-masalah yang mirip di beberapa negeri, namun hukumnya tetap berbeda,
bahkan terkadang muncul beberapa pendapat fiqh pada satu waktu. Hal tersebut
dikarenakan yang menetap di situ bukan hanya seorang sahabat, namun banyak
sahabat yang kemudian memberikan jawaban yang berbeda-beda dan dari sini para
pengikutnya juga akan berbeda-beda sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari
gurunya.
Hubungan keilmuan antara seorang alim (sahabat) yang menetap pada suatu
negeri dengan penduduknya sangat erat. Buktinya, ada beberapa fatwa dan hukum
yang beragam. Selain itu ada beberapa hadis yang diriwayatkan di Irak, Syam,
Mesir, dan negeri-negeri lain, terdapat perbedaan ilmu pengetahuan di Mekah dan
Madinah, para sahabat berhasil meluluskan ulama tabi’in yang telah
mengambil ilmu mereka dan meraih kedudukan yang mulia dalam ilmu dan agama.
Kondisi dan dinamika tasyri’ pada zaman tabi’in sedikit
banyak berbeda dengan kondisi pada masa sahabat dalam hal kebutuhan untuk
memperbanyak periwayatan hadis semakin menguat pada tabi’in. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a.
Luasnya wilayah
kekuasaan negara Islam setelah terjadi banyak penaklukan sehingga menimbulkan
banyak masalah yang perlu diberikan fatwa. Disamping itu, para fuqaha’
menghadapi kondisi sosial yang beragam dengan adanya orang Persia dan Romawi
serta Kristen Ortodoks.
b.
Jarak antara satu
negeri dengan negeri yang lain sangat jauh dan sulit berkomunikasi sesama
mereka. Oleh karena itu, setiap ulama hadis terpaksa meriwayatkan apa yang
dihafalnya untuk berfatwa, dan terkadang mereka pergi ke Madinah untuk
mengumpulkan hadis dan menghafalnya, apalagi mereka banyak meriwayatkan hadis
dari Rasulullah SAW ada di kota Madinah, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu
Hurarirah, dan Aisyah.
c.
Setelah Alqur’an
mendapat perhatian besar, baik dihafal dan dikaji pada zaman sahabat sehingga
membuat generasi setelahnya tidak berbeda pendapat sesuai dengan firman Allah
SWT : Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yang akan
menjaganya. (QS. Al-Hijr (15) : 9).
Oleh sebab itu, periwayatan hadis merebak di zaman tabi’in sehingga
para penghafal hadis terpaksa menampakkan hafalannya, yang pada akhirnya
memperluas ruang perbedaan dan perkembangan aktivitas fiqh sehingga setiap
zaman memiliki permasalahan, fatwa, dan ketetapan hukum yang berbeda-beda
sesuai dengan kondisi dan ulamanya.
Seiring dengan merebaknya periwayatan hadis di zaman tabi’in muncul
indikasi pemalsuan hadis yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW yang
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a.
Permusuhan yang
dilatarbelakangi agama. Para musuh Islam senantiasa membuat makar untuk
menghancurkan kaum muslimin, baik Yahudi atau Kristen. Mereka menanamkan
doktrin kekufuran dengan cara menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal dan menisbatkannya kepada Rasulullah SAW.
b.
Fanatik mazhab. Muncul
beberapa aliran keagamaan seperti Khawarij dan Syiar, telah melancarkan
lahirnya pemalsuan hadis karena masing-masing kelompok ingin menjual
doktrinnya. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk menguatkannya dengan
membuat hadis palsu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, dan ini
banyak dilakukan oleh kaum radikal dari golongan Syiah dan pihak lain yang
dimotivasi oleh faktor politik kau separatis selain Khawarij.
c.
Kebodohan sebagian
orang shaleh. Sebagian orang-orang yang shaleh mengajak orang awam untuk
melaksanakan fadhilat amal dengan imbauan dan ajakan yang berlebihan
ssehingga pada akhirnya memaksa mereka untuk merekayasa ucapan-ucapan dusta,
lalu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.
d.
Fanatisme sekelompok
orang yang menolak hukum yang tidak ditetapkan dengan wahyu. Ada sebagian orang
yang menolak segala sesuatu yang tidak ada hukumnya, baik dalam Alquran maupun
sunnah sehingga membuat mereka menisbatkan hadis atau riwayat yang memang dari
sahabat atau ahli hikmah lalu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW yang kemudian
diterima dengan baik oleh kelompok ini. Pemalsuan hadis bisa terjadi pada matan
dan isnad (perawi), bahkan mereka membuat isnad sendiri bagi sebuah hadis yang dhaif
dengan isnad yang masyhur, menukar isnadnya agar tidak diketahui tentang jahalah
dirinya. Munculnya fenomena pemalsuan hadis sangat mengganggu kerja para fuqaha’
dalam meng-istinbat hukum karena mereka telah membuang waktu dan tenaga
yang banyak demi memilah hadis untuk memastikan keshahihan sebuah hadis. Baru
setelah itu mereka mengeluarkan hukumnya dan sudah pasti ini bukan pekerjaan
ringan dan banyak tantangan sehingga memperlambat laju istinbat dan ijtihad.
Munculnya Aliran-aliran Fiqh
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa tersebarnya para sahabat
ke seluruh pelosok negeri, perbedaan tingkat pemahaman dan daya hafal mereka
terhadap hadis Rasulullah, banyaknya peristiwa dan problematika, adat kebiasaan
pada setiap negeri yang tidak ada pada negeri yang lain kemudian melahirkan
corak fiqh yang berbeda-beda dan lain dari fiqh negeri yang lain. Inilah yang
kemudian kita namakan aliran fiqh seperti fiqh Syam, Hijaz, Mesir, Kufah, dan
aliran Bashrah serta yang lainnya.
Walaupun terjadi keberagaman aliran fiqh pada zaman ini disebabkan
perbedaan sosiologis yang sulit untuk dihindari, sehingga mereka menganggap
perbedaan ini bukan suatu masalah besar, namun yang menjadikan perbedaan di
antara mereka adalah kecenderungan kepada aliran hadis atau logika (ra’yi)
atau mengambil keduanya. Di sini kita akan membahas tentang madrasah (aliran)
ahli hadis di Madinah dan ahli ra’yi di Kufah.
Sejarah Kelahiran Madrasah Ahli Hadis
Asal usul lahirnya madrasah ini pada zaman tabi’in adalah karena
keberadaan para pembesar sahabat yang lebih memilih tinggal di kota Madinah, di
antaranya Zaid bin Tsabit, Ummul Mukminin ’Aisyah, Abdullah bin Umar bin
Al-Khaththab, mereka terkenal sebagai orang-orang yang tidak condong kepada ra’yi
dan tetap berpegang dengan sunnah di samping hafalan yang banyak sehingga
penduduk Madinah lebih memilih hadis daripada logika (ra’yi).
Manhaj ini ternyata menarik minat sebagian ulama tabi’in
yang kemudian dikenal dengan nama fuqaha’ sembilan atau tujuh berdasarkan
tingkat popularitasnya, yaitu Sa’id bin Al-Musayyib, Kharijah bin Zaid bin
Tsabit, Urwah bin Az-Zubair, Sulaiman bin Yasar, ‘Ubadillah bin Utbah bin
Mas’ud, Al-Qasim bin Muhammad, dan Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits.
A.
Madrasah Ahli Hadis
Corak fiqh bagi madrasah ahli hadis dibangun di atas prinsip sebagai
berikut :
a. Para fuqaha’ lebih
mendahulukan sunnah daripada pendapat pribadi, dan tidak menggunakan ra’yi kecuali
dalam masalah yang tidak ada nash-nya, baik dalam Alqur’an, sunnah,
ijma’, ataupun pendapat sahabat. Kesannya, mereka mau menggunakan hadis yang
hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi jika hafalan, agama, dan amanahnya
dapat dipercaya.
b. Para pengikut aliran ini sangat komitmen
dalam melaksanakan nash-nash zahir dan tidak melihat illat sebuah
hukum atau hikmah pensyariatannya. Akibatnya, mereka tidak akan meninggalkan
pengamalan terhadap zahirnya nash, walaupun hikmahnya tidak tampak.
c. Mereka tidak menggunakan pendapat
pribadi, kecuali jka sangat terpaksa dan membatasinya dalam masalah realitas
hidup yang memang perlu segera mendapat jawaban. Adapun masalah-masalah yang
bersifat pengandaian, mereka tidak menggunakannya dan merasa cukup dengan hukum
aplikatif ketika menghadapi masalah atau kejadian.
B.
Madrasah Ahli Ra’yi
Corak Fiqh pada madrasah ahli ra’yi adalah sebagai berikut :
a.
Memberikan perhatian
khusus terhadap pencarian illat hukum dan hikmah pensyariatan serta
mengaitkannya baik ada atau tidaknya. Ini karena mereka menganggap bahwa
syariat Islam dapat dicerna maknanya, ia datang untuk mewujudkan kamaslahatan
hamba sehingga perlu di cari rahasia apa yang tersimpan di balik zahirnya nash
berupa illat di tetapkannya syariat. Dalam hal ini mereka memakai manhaj
yang sama dengan Umar bin Khaththab dan meninggalkan metode Ibnu Mas’ud.
b.
Sangat selektif dalam
menerma hadis ahad. Hal itu dilakukan karena mereka sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis Nabi Muhammad SAW dan tidak takut berbicara dengan pendapat
pribadi karena menguasai, apalagi Irak menjadi negeri yang penuh dengan hadis
palsu yang mengharuskan para ulama untuk lebih selektif dalam menyaring sunnah.
Akibat sikap keras ini mereka lebih mendahulukan qiyas daripada hadis ahad yang
sudah shahih menurut ulama yang lain.
c.
Pengunaan ra’yi
tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang sudah terjadi, akan tetapi juga
terhadap berbagai permasalahan iftirahiyah (andaian) yang belum terjadi
dan mereka sudah menuangkan logika (ra’yi) di dalamnya. Ulama Kufah
termasuk dari golongan yang banyak memberikan perincian (tari’) masalah
fiqh yang dilandasi tiqh iftiradhi, bahkan sampai kepada mengandaikan
suatu kejadian yang tidak mungkin terjadi. Dan inilah yang menjadi objek
kritikan ulama Madinah sehingga mereka menanamkan penduduk Kufah dengan sebutan
“Ara’atiyin” karena banyaknya ucapan mereka, “Apa pendapat kamu jika begini dan
begitu, apa hukumnya? “Akan tetapi, menurut hemat penulis justru cara inilah
yang telah meluaskan ruang lingkup fiqh dan meletakannya pada tingkat kematangan.
Adapun semua masalah pengandaian yang ada, tidak lain hanya untuk melatih diri
bagi yang sedang belajar, dengan alasan ini maka pengandaian tersebut sama
halnya dengan soal-soal ujian pada zaman sekarang ini.[12]
B. Hukum Islam pada Masa Dinasty Bani Abbasiyyah
Periode ini dimulai
sejak berdirinya Dinasty Abbasiyyah setelah runtuhnya Dinasty Umayyah pada
tahun 132 hijriah dan berakhir pada pertengahan abad ke empat hijriah ketika
Dinasty Abbasiyyah mengalami kemunduran dan tidak ada yang tersisa dari kekuasaan
dynasty kecuali namanya saja.
Qadha’, selain munculnya para ulama yang membahas setiap bab, memiliki madzab
ijtihad sendiri yang kemudian diberi nama sesuai nama para imamnya.
Kemajuan ilmu
pengetahuan pada zaman ini tidak hanya terjadi pada bidang fiqh, namun juga
terjadi pada bidang ilmu lain seperti tafsir, hadits, tauhid, bahasa, dan adab.
a. Factor Penyebab Kemajuan Fiqh Islam pada Masa Dynasty Abbasiyyah
1.
Perhatian Khalifah
Dinasty Abbasiyyah terhadap Fiqh dan Fuqaha’
Para khalifah Dinasty Abbasiyyah sangat memberikan perhatian kepaada Fiqh,
berbeda dengan khalifah Umayyah yang lebih konsentrasi dengan masalah politk
sehingga mereka mampu member corak islam pada Negara dan menjadikan agama
sebagai proses rotasi semua urusan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam
beberapa aspek di bawah ini.
a.
Semua undang-undang
bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah terutama yang terkait dengan urusan
pemerintahan.
b.
Memberikan perhatian
terhadap As-Sunnah dan mengumpulkan hadis, ditulis dan dibukukan sepert musnad
Imam Ahmad, Shahih Al-Bukhari, dan yang lainnya.
c.
Para khalifah sangat
dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah (bantuan) dan menyeru para
pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan dalam menentukan hukum.
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur meminta izin kepada Imam Malik untuk menjadkan
kitab Al-Muwaththa’ sebagai sebagai undang-undang Negara dan demi
memutus tali perbedaan pendapat.
d.
Perhatian para khalifah
juga dapat dilihat ketika mereka meminta para fuqaha’ untuk meletakkan
aturan aturan perundang-undangan islam dalam mengatur urusan Negara. Harun
Ar-Rasyid meminta Abi Yusuf untuk menggali hukum tentang peraturan keuangan
Negara, alokasi dana, dan kewajiban Negara serta mengingatkan sang khalifah
dengan ucapan, “Dirikan kebenaran dalam apa yang telah diberikan Allah
kepadamu, jangan menyeleweng karena rakyat akan berpaling, jauhilah hawa nafsu
dan memutuskan sesuatu sambil marah, jadilah orang yang selalu takut dengan
Allah, dan jadikan semua orang sama dalam berurusan kepadamu baik orang dekat
atau jauh, sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawabanmu dan apa yang
sudah kamu kerjakan.”
2.
Perhatian dan semangat
tinggi untuk mendidik para penguasa dan keturunannya dengan pendidikan islam.
3.
Iklim kebebasan
beprpendapat.
4.
Maraknya debat diskusi
dan debat ilmiah di antara paa Fuqaha’.
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Tasyri’ adalah
segala sesuat yang diturunkan oleh Allah yang menjadi hukum bagi umat islam.
Tabi’in adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia
sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak
darinya
Hukum islam pada masa
tabi’in ini dikenal juga dengan nama masa pembinaan, pengembangan, dan pembukuan
(abad 7-10 M). periode ini berlangsung lebih kurang 250 tahun lamanya,dimulai
pada bagian kedua abad ke-7 sampai abad ke-10 Masehi. Dilihat dari kurun waktu
ini, pembinaan dan pengembangan hukum islam itu dilakukan di masa pemerintahan Khalifah
Umayyah dan (662-750) dan khalifah Abbasiyah (750-1258).
DAFTAR PUSTAKA
HAM ,Musahadi, 2000. Evolusi
Konsep Sunnah,( Semarang: Aneka Ilmu).
Khalil, Rasyad Hasan, , 2011.Tarikh Tasyri’,(Jakarta:Amzah).
Khalil , Rasyad Hasan, Tarikh
Tasyri’ Sejarah Legalisasi Hukum Islam, 2009 (Jakarta: Sinar Grafika
Ofset).
Ramulyo ,Idris,2004. Asas-asas Hukum Islam.(Jakarta:
Sinar Grafika).
Robin, , 2010.Penetapan Hukum
Islam dalam Lintas Sejarah, (Malang: UIN-Maliki Press),
[1]
Mohd. Idris Ramulyo, SH., M.H, Asas-asas Hukum Islam.(Jakarta: Sinar
Grafika.2004). h.2-3.
[2]
Musahadi HAM, Evolusi Konseo Sunnah, 2000,( Semarang: Aneka Ilmu). Hlm.1
[3]
Dr. H. Robin, M.HI, Penetapan Hukum Islam dalam Lintas Sejarah, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), h. 3.
[4]
(Q.S. Al-Jatsiyah (45):18)
[5]
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,(Jakarta:Amzah, 2011).h.1.
[6] Ibid,
h.2.
[7]
Rasyad Hasan Khalil, TARIKH TASYRI’ Sejarah Legalisasi Hukum Islam, 2009
(Jakarta: Sinar Grafika Ofset).Hlm.78.
[9] Ibid.
[10]
Mohd. Idris Ramulyo. Opcit. h.125.
[11]
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, h. 77.
[12]
r. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, h.80-98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar