BAB I
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Keadilan
merupakan hal yang sangat diinginkan oleh setiap manusia, karena dengan
keadilan kita bias memiliki kesamaan hak di mata hokum. Di Indonesia banyak
sekali lembaga peradilan baik itu yang bersifat pengadilan agama ataupun
pengadilan negeri. Akan tetapi, dalam makalah saya ini kita akan memfokuskan
tentang bagaimana peradilan dalam islam itu sendiri, dan seperti apa peradilan
dalam islam itu sendiri.
Dasar
dari adanya peradilan adalah dengan adanya firman Allah swt dalam Al-qur’an
surah Shad ayat 26:
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7Ïx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
26. Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari
perhitungan.
Firman
Allah dalam surah Al-Maidah (5) ayat 49:
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# wur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& qãZÏFøÿt .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ßÌã ª!$# br& Nåkz:ÅÁã ÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRè 3 ¨bÎ)ur #ZÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
49. Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah
diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-qadla’
Al-qadha atau sering disebut peradilan telah lam dikenal sejak dari
zaman purba dan dia merupakan suatu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat
suatu pemerintahan berdiri tanpa adanya peradilan. Kaena peradilan itu adalah
untuk menyelesaikan segala sengketa di antara para penduduk.[1]
Al-qadha menurut bahasa berarti :
1.
Al-faraagh
artinya putus atau selesai Sebagaimana firman Allah:
( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur
37.Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya),
2.
Al-Adaa’
artinya menunaikan atau membayar, seperti firman Allah SWT.:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
10. Apabila Telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
3.
Al-Hukm
artinya mencegah atau menghalangi. Dari kata inilah maka
qadhi-qadhi disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kezaliman orang
yang mau berbuat zalim.
4.
Arti
lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.
Jadi sebenarnya
qadhi menurut bahasa artinya orang yang memutuskan perkara yang menetapkannya.[2]
Apabila kita
mengatakan: hakim telah menghukumkan begini “, maka pengertiannya, ialah: hakim
telah meletakkan sesuatu hak pada tempatnya atau telah mengembalikan sesuatu
hak kepada pemiliknya.[3]
Sedangkan menurut istilah atau terminology al-qadha didefinisikan
1.
Menurut
istilah ahli fiqh, ialah:
a.
Lembaga
Hukum.
b.
Perkataan
yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum,
atau menerangkan hukum agama atas dasar nebgharuskan orang mengikutinya.[4]
2.
Qadha
juga didefinisikan
1.
ا لو لا ية ا لمعرو فة
“kekuasaa yang dikenal (kekuasaan yang mengadili dan memutuskan
perkara)”
2.
هو ا لفصل فى ا لخصو ما ت خمسا لتدا عى و قطعا لنزا ع با لا حكا م ا
لشر عية ا لمتلقا ة من ا لكتا ب و ا لسنة “ Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk
melenyapkan gugat mengugat dan untuk memotong pertengkaran dengan
hukum-hukum yang dipetik dari Al-Qur’an
dan sunnah”.
3.
Menurut
‘Ukbary dalam kulliyatnya yang dimaksud dengan peradilan adalah:
قو ل
ملزم صدرعن ذ ي و لا اية عا مة
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah
lembaga yang mempunyai kekuasaan umum
untuk mengadili dan memutuskan perkara antara dua orang atau lebih dengan
berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.[5]
3.
Para
ulama madzhab juga memberikan definisi mengenai al-qada; yaitu,
Imam Abu
Hanifah mendefinisikan, “suatu keputusan mengikat yang bersumber dari
pemerintah umum guna menyelesaikan dan memutuskan persengketaan”. Imam Malik
mendefinisikan, “pemberitaan tentang hukum syara’ melalui cara yang mengikat
dan pasti”. Ulama maliki mendefinisikan al-qadha dari segi sifat lembaga hukum
ini , sementara Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal memberikan definisi,”
penyelesaian persengketaan antara dua pihak atau lebih berdasarkan huku Allah Swt.[6]
B.
Rukun
Peradilan
Dalam peradilan terdapat rukun-rukun yang harus ditetapkan, yaitu:
1.
Hakim,
yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan,
karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas itu.
2.
Hukum,
yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan perselisihan dan
memutuskan persengketaan.
3.
Al-mahkum
bih, yaitu hak. Kalau pada qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat,
dengan memenuhi tuntutan penggugat apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha
al-tarki (penolakan) penggugat yang berupa penolakan atas gugatannya.
4.
Al-mahkum
‘alaihi, yaitu , orang yang dijatuhi putusan atasnya.
5.
Al-mahkumlah,
yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata.[7]
6.
Sumber
hukum(Putusan)
C.
Bentuk-bentuk
Peradilan
Ilmu fiqh menyatakan, bahwa peradilan atau al-qadla adalah
merupakan fardhu kifayah, yakni kewajiban kolektif bagi ummat, seperti halnya
dengan mendirikan shalat jum’ah, memelihara mayit dan lain-lain sebagainya, termasuk mendirikan “imamah”
yakni kepemimpinan ummat. Qadla dapat dilakukan dalam tiga bentuk.
Bentuk pertama: peradilan harus dilakukan atas dasar pelimpahan
wewenang atau “tauliyah” dari imam. Imam adalah kepala Negara yang disebut pula
dengan “waliyul-amri”. Dalam pada itu sekiranya seorang penguasa, yang di dalam
istilah fiqh disebut “dzu syaukah”, dan sekalipun sultan yang kafir mengangkat
seorang hakim yang kurang memenuhi persyaratan, keputusan hakim yang demikian
itu harus dianggap berlaku sah, demi tidak untuk mengabaikan kemaslahatan umum.
Bentuk kedua: Bila di suatu tempat tidak ada penguasa atau Imam,
pelaksanaan peradilan dilakukan atas dasar penyerahan wewenang, yakni Tauliyah
dari “ahlul halli wal’aqdi”, yaitu para tetua dan sesepuh masyarakat seperti
ninik-mamak di sumatera barat, secara
kesepakatan.
Bentuk ketiga: Dalam keadaan tertentu, terutama bila di sesuatu
tempat tidak ada hakim, maka dua orang yang saling sengketa dapat “bertahkim”
yakni mengangkat seseorang untuk bertindak sebagai hakim dengan persyaratan
antara lain kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat akan menaati
keputusannya, begitu pula tidak menyangkutkan keputusannya dengan hukuman
badaniyyah, yakni pidana dan lain-lain sebaagainya.[8]
D.
Bentuk-bentuk
Wilayah Peradilan
Dalam fikh islam ada tiga bentuk wilayah peradilan, yaitu:
1.
Wilayah
al-qadha, yaitu lembaga peradilan dengan kekuasaan meyelesaikan berbagai kasus,
disebut juga degan peradilan biasa;
2.
Wilayah
al-Mazhalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus penganiayaan
penguasa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh pnguasa dan
perangkatnya;
3.
Wilayah
al-hisab, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus pelanggaran
moral dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar.[9]
E.
Tugas-tugas
Peradilan
Tugas-tugas dari qadla (lembaga peradilan), ialah : menampakkan
hukum agama, bukan memetapkan sesuatu hukum, kaena hukum telah ada dalam hal
yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya ke dalam alam kenyataan,
bukan memetapkan sesuatu yang belum ada.
Ada yang mengatakan, bahwa qadla itu, ialah berdiri antara Allah
dengan makhluk, untuk menyampaikan kepada makhluk perintah-perintah Allah dan
hukum-hukum yang diperoleh dari Al-kitab dan As Sunnah.
Dan ada Pula yang mengatakan, bahwa qadha itu berarti menyelesaikan
sesuatu sengketa dengan hukum Allah.
Al-kasyani mentakrifkan qadha dengan:
ا لحكم بين ا
لنا س با لحق ا وا لحكم بما ا نز ل ا لله
Menghukum manusia dengan yang benar atau dengan hukum yang Allah
turunkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ash
shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam. (Semarang:
PT Pustaka Rizka Putra, 1964,
Koto,
Alaiddin. Sejarah Peradilan Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
Noeh,
Zaini Ahmad, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Intermasa,
1986).
[1]
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang:PT.Pustaka
Rizki Putra, 2001). h.3.
[2]
Alaiddin Kolo, sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011). h. 10.
[3]
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Opcit, h.34.
[4] Ibid,h.34.
[5]
Alaiddin Kolo opcit, h. 11.
[6] Ibid,h.14.
[7] Ibid,h,
14.
[8] Zaini
Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam (Jakarta: PT Intermasa,1986). h, 1-2.
[9]
Alaiddin Koto. Opcit, h,15,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar