Sabtu, 08 Desember 2012

TUGAS ULUMUL QUR'AN MUHKAM DAN MUTASYABIH


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“Al-Qur’an memberikan kemungkian arti yang tak terbatas. Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”
(Muhammad Arkoun)
Betapa indah gambaran Muhammad Arkoun dalam menjelaskan Al-Qur’an. Sepanjang zaman Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan penafsiran (interpretasi baru) sesuai background sang penafsir. Pendapat  Muhammad Arkoun di atas, dapat kita buktikan dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam dan Mutasyabih. Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai hakikat Muhkam dan Mutasyabih.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata Muhkam  dan Mutasyabih. Pertama, lafal Muhkam , terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه....
Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya....

Kedua, lafal Mutasyabih  terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
...كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ....
....(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (Mutasyabih) lagi berulang-ulang....
Ketiga, lafal Muhkam  dan Mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 7:
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat Muhkamat yang merupakan induk dan lainnya Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami”...
Berdasarkan tiga ayat tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Muhkam  berdasarkan ayat pertama. Kedua  berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an Muhkam  dan lainnya Mutasyabih berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan Muhkam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud Mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.
Dalam makalah ini, akan dibahas pendapat-pendapat para ulama ahli tafsir mengenai hakikat ayat Muhkam  dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka, kami mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian  Muhkam dan Mutasyabih?
2.      Bagaimana Kriteria  Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih?
3.      Apa Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
4.      Macam-macam Ayat Mutasyabih
5.      Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama’ dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.      Bagaimana Metode Memahami Ayat – Ayat Mutasyabih
7.      Apa Hikmah Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Apa Pengertian  Muhkam dan Mutasyabih
2.      Untuk Mengetahui Bagaimana Kriteria  Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.      Untuk Mengetahui Apa Sebab-Sebab Terjadinya Tasyabuh Dalam Al-Qur’an.
4.      Untuk Mengetahui Macam-Macam Ayat Mutasyabih
5.      Untuk Mengetahui Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama’ Dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.      Untuk Mengetahui Bagaimana Metode Memahami Ayat– Ayat Mutasyabih
7.      Untuk Mengetahui Apa Hikmah Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih

 BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
“Al-Qur’an memberikan kemungkian arti yang tak terbatas. Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”
(Muhammad Arkoun)
Betapa indah gambaran Muhammad Arkoun dalam menjelaskan Al-Qur’an. Sepanjang zaman Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan penafsiran (interpretasi baru) sesuai background sang penafsir. Pendapat  Muhammad Arkoun di atas, dapat kita buktikan dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam dan Mutasyabih. Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai hakikat Muhkam dan Mutasyabih.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata Muhkam  dan Mutasyabih. Pertama, lafal Muhkam , terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه....
Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya....

Kedua, lafal Mutasyabih  terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
...كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ....
....(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (Mutasyabih) lagi berulang-ulang....
Ketiga, lafal Muhkam  dan Mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 7:
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat Muhkamat yang merupakan induk dan lainnya Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami”...
Berdasarkan tiga ayat tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Muhkam  berdasarkan ayat pertama. Kedua  berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an Muhkam  dan lainnya Mutasyabih berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan Muhkam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud Mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.
Dalam makalah ini, akan dibahas pendapat-pendapat para ulama ahli tafsir mengenai hakikat ayat Muhkam  dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka, kami mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian  Muhkam dan Mutasyabih?
2.      Bagaimana Kriteria  Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih?
3.      Apa Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
4.      Macam-macam Ayat Mutasyabih
5.      Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama’ dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.      Bagaimana Metode Memahami Ayat – Ayat Mutasyabih
7.      Apa Hikmah Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Apa Pengertian  Muhkam dan Mutasyabih
2.      Untuk Mengetahui Bagaimana Kriteria  Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih
3.      Untuk Mengetahui Apa Sebab-Sebab Terjadinya Tasyabuh Dalam Al-Qur’an.
4.      Untuk Mengetahui Macam-Macam Ayat Mutasyabih
5.      Untuk Mengetahui Bagaimana Pandangan dan Sikap Ulama’ Dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
6.      Untuk Mengetahui Bagaimana Metode Memahami Ayat– Ayat Mutasyabih
7.      Untuk Mengetahui Apa Hikmah Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih

 BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Secara etimologi kata “muhkam” berasal dari kata “ ihkam” yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Semua pengertian ini rapada dasarnya kembali kepada satu makna pencegahan.[1]
“ Muhkam” dapat berarti sesuatu yang dikukuhkan, jelas, fasih, dan bermaksud membedakan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan urusan yang lurus dari yang sesat.[2]
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah  ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[3]
Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh,  yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan lainnya, yang biasanya dapat membawa kepada kesamaran antara kedua hal itu. Syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal tidak dapat di bedakan karena adanya kemiripan baik secara konkrit maupun abstrak. Mutasyabih juga kadang-kadang dipadankan dengan mutamatsil dalam perkataan dan keindahan.[4]
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian Muhkam dan Mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1). Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2).  Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3).  Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4).  Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5).  Muhkam  ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam Mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6).  Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih  ialah lawannya Muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7).  Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa Muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[5]



2.      Kriteria  Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Perbedaan pengertian Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan para ulama di atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka tentang Muhkam dan Mutasyabih, sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah  kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan Mutasyabih.
J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat Muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).[6]

Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.
Muhkam menyangkut soal hukum-hukum (faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.[7]


3.      Sebab-sebab Terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an
Secara tegas dapat dikatakan, bahwa adanya ayat muhkam dan mutasyabih itu karena Allah SWT. yang menjadikannya demikian itu. Allah Memisahkan / membedakan antara ayat – ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikannya ayat yang muhkamat sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat.
4.          uqè üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ( Qs, Al-Imran : 7 ).
Sebagian ulama berpendapat, bahwa ayat ayat mutasyabbihat tidak dapat diketahui takwilnya oleh siapapun kecuali Allah sendiri. Mereka mewajibkan agar orang tidak mencari-cari takwilnya dan menyerahkan persoalan itu hanya kepada Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya berucap” kami mengimaninya, semuanya datang dari Tuhan kami”.[8]
            Sebab-sebab terjadinya tasyabuh menurut pendapat para ulama’ ialah disebabkan oleh ketersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya itu sendiri.
Adapun pendapat para ulama’ mengatakan bahwa penyebab adanya tasyabuh karena tiga hal yaitu, kesamaran pada lafal ayat, kesamaran pada makna ayat, dan kesamaran pada lafal sekaligus makna ayat itu sendiri.
1.      Kesamaran pada lafal ayat
Adanya sebagian ayat-ayat mutasyabihat didalam Al-Qur’an disebabkan oleh kesamaran pada lafal, baik lafal mufrad maupun lafal murakkab.
a.       Kesamaran pada lafal mufrod
Adapun yang dimaksud dengan kesamaran pada lafal mufrad  ini adalah adaya lafal tunggal yang maknanya tidak jelas, baik disebabkan oleh gharib ataupun musytarak (bermakna ganda). Kesamaran makna yang kembali kepada lafal mufrod yang gharib, misalnya firman Allah dalam surat ‘Abasa (80: 31-32), yaitu,
ZpygÅ3»sùur $|/r&ur ÇÌÊÈ $Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ
b.      Kesamaran pada lafal murakkab
Kesamaran pada lafal murakkab kadang-kadang disebabkan karena lafal-lafal semacam itu terlalu ringkas, panjang atau luas, atau karena”susunan kalimatnya terkesan tidak runtut”. Namun maksud ayat ini akan dapat diketahui melalui penelitian dan pengkajian. Contoh lafal ayat mutasyabih murakkab  yang terlalu ringkas, dapat dijumpai antara lain dalam firman-Nya surah An-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB
 y]»n=èOur yì»t/âur (
 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

2.      Kesamaan pada makna ayat
Kesamaran atau ketersembunyian yang terjadi pada makna ayat, umumya adalah berupa ayat-ayat mutasyabihat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat yang demikian antara lain dapat disimak dalam firman-Nya:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4
  Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka.(Al-fath:10).

3.      Kesamaran pada lafal dan makna ayat sekaligus
Dalam hubungannya dengan kesamaran pada lafal dan makna ayat tersebut, terdapat lima aspek yang terkait dengannya, yaitu:
a.       Aspek kuantitas (al-kammiyah), baik yang berkaitan dengan masalah-masalah yang umum maupun yang khusus. Mengenai hal ini dapat disimak dalam firman Allah:
#sŒÎ*sù yn=|¡S$# ãåkô­F{$# ãPãçtø:$# (#qè=çGø%$$sù tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ß]øym óOèdqßJ?y`ur ÇÎÈ
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu[630], Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.
Dalam hal ini batas kuantitas yang harus dibunuh masih belum jelas atau samar-samar.
b.      Aspek cara (al-kaifiyah). Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah mengenai cara melaksanakan kewajiban yang diperintahkan agama atau kesunahannya, misalnya dalam firman Allah:
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ÎTôç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ü̍ò2Ï%Î! ÇÊÍÈ
 Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.

Dalam ayat  tersebut terdapat kesamaran dalam hal bagaimana cara agar selalu dapat mengingat Allah SWT.
c.       Aspek waktu (al-wakt, al-zaman) dalam hal yang berkaitan dengan aspek waktu ini, kesamaran atau ketersembunyiannya terletak pada keumuman dari petunjuk yang dibawakan oleh ayat Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya dalam firman-Nya surah al-Imron ayat 102:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qà)®?$# ©!$# ¨,ym ¾ÏmÏ?$s)è?
 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa .
Ayat tersebut memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu bertakwa dalam waktu yang tidak terbatas. Waktu yang tidak terbatas tesebut mengandung unsur kesamaran. Samapi kapan batas waktunya bertakwa itu, tidak dijelaskan.
d.      Aspek tempat (al-makn).  Aspek tempat memang terkait erat dengan ketersembunyian atau kesamaran lafal dan makna yang terdapat pada ayat mutasyabbihaat  itu. Sebagaiman firman Allah dalam surat al- Bakaroh ayat 189:
3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß
 Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya.
e.       Aspek syarat (syarath-masyruth). Yang dimaksudkan disini adalah syarat-syarat dalam melaksanakan suatu kewajiban, baik mengenai ibdah maupun mu’amalah todak dirinci dalam ayat-ayat tersebut. Misalnya dalam hal shalat, puasa, haji, nikah dan sebagainya.[9]

4.             Macam-macam Ayat Mutasyabih
Al-Zarqani membagi ayat-ayat Mutasyabihat menjadi tiga macam.[10]
a.       Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ....
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri....
b.      Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’(4:3)
وَاِنْ خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ
 لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ...
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
c.       Ayat-ayat Mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
5.        Pandangan dan Sikap Ulama’ dalam Menghadapi Ayat Mutasyabih
Sedang menurut para ulama berbeda – beda dalam memberikan pengertian al-muhkan dan al-mutasyabih diantaranya sebagai berikut :
a.       Ulama Ahlus sunnah wal jama’ah mengatakan lafadz muhkam adalah lafadz yang diketahui ma’na maksudnya, baik karena memang sudah jelas artinya maupun karena dengan di ta’wilkan. Sedang lafadz mutasyabih adalah lafadz yang pengetahuan artinya hanya dimonopoli Allah SWT. Manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya. Contohnya, terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, artti dari huruf – huruf muqatha’ah.
b.      Ulama golongan Hanafiyah mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin telah dinaskh (dihapus hukumnya). Sedang lafadz mutasyabih adalah lafadz yang sama maksud petunjuknya sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia ataupun tidak tercantum dalam dalil-dalil naskh. Sebab lafadz mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui Allah saja artinya. Contohnya seperti hal-hal yang ghaib.
c.       Mayoritas ulama golongan ahlu fiqh yang berasal dari pendapat sahabat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang tidak bisa dita’wil kecuali satu arah / segi saja. Sedangkan lafadz mutasyabih adalah artinya dapat dita’wilkan dalam beberapa arah / segi, karena masih sama. Seperti masalah surga, neraka, dan sebagainya.[11]
6.        Metode Memahami Ayat – Ayat Mutasyabih
Para Ulama dalam mamahami ayat – ayat mutasyabihat yang terdapat dalam al-Qur'an khususnya ayat – ayat mengenai sifat – sifat Allah terbagi dalam dua aliran.
a.       Madzhab salaf, yaitu para ulama dari generasi sahabat. Mereka ketika menghadapi ayat mutasyabihat berusaha untuk mengimaninya dan menyerahkan makna serta pengertiannya hanya kepada Allah SWT.
Bagi kaum salaf, ayat – ayat mutasyabihat tidak perlu dita'wilkan. Sebab yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah SWT, mereka hanya berusaha mengimaninya.
b.      Madzhab khalaf, yaitu para ulama berikutnya generasi berikutnya, seperti Imam Huramain. Mereka berpendapat bahwa ayat – ayat mutasyabihat yang secara lahir mustahil bagi Allah SWT. harus ditetapkan maknanya dengan pengertian yang sesuai dan sedekat mungkin dengan dzat-Nya..
Mereka menta'wil lafdz istiwa' (besemayam) dengan maha berkuasa menciptakan sesuatu tanpa susah payah. Kalimat ja'a rabbuka (kedatangan Allah) dalam Qs. Al-Fajr : 22, dita'wilkan dengan kedatangan perintah-Nya. Kata fauqa (diatas) didalam Qs. Al-An'am : 61, dengan ketinggian yang bukan arah atau urusan dan lain sebagainya.[12]


7.        Hikmah Diturunkannya Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Ada pepatah yang mengatakan, khudil hikmata min ayyi wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitu pun dalam masalah Muhkam  dan Mutasyabih. Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan Muhkam dan Mutasyabih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:
a.       Andaiakata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
b.      Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fussilat [41]: 42)
c.       Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk teus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir. [13]
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya Muhkam  dan Mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.[14]


  1. Muhkam
1.      Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya yang kemampuan bhs. Arabnya lemah. Sebab arti dan maknanya sudah cukup terang dan jelas.
2.      Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya serta menghayatinya.
3.      Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati dan mengamalkan isi al-Qur'an sebab ayatnya mudah dimengerti dan dipahami.
4.      Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umatdalam mempelajari isinya.
5.      Mempercepat usaha tahfidzul Qur'an.[15]
  1. Mutasyabih
1.      Rahmat Allah, sebab sifat dan dzat Allah itu ditampakkan kepada manusia yang lemah, tidak mengetahui segala sesuatu.
2.      Sebagai bagian dari ujian kepada manusia, apakah dia akan tetap beriman terhadap kabar-kabar yang hak itu, atau malah berpaling.
3.      Menampilkan dalil atas keberadaan manusia sebagai makhluk yang lemah dan menampilkan syahid terhadap kekuasaan Allah15
(#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana". ( Qs. Al-Baqarah : 31 )
4.      Menegaskan Kemukjizatan al-Qur'an.
5.      Memudahkan bacaan, hafalan, dan pemahaman al-Qur'an. Sebab adanya ayat mutasyabihatmutasyabihat sulit dimengerti, maka orang akan banyak berfikir.
6.      Menambah pahala usaha manusia dengan menambah sukarnya memahami ayat – ayat mutasyabihat.[16]


Kalau hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” Muhkam dan Mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.


BAB III
PENUTUP
1.  Kesimpulan
Adapun yang dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah:
1.                     Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan.
2.                     Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
3.                     Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
4.                     Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah dan I’jaznya.
2. Saran
Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabih sebagai ayat yang tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar[17] sepanjang sejarah manusia yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan di teliti. Sebagai ummat Islam hendaknya kita lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat tersebut dalam bentuk yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman  dalam seiap  langkah kita.

            Akhirnya, Wallahu a’lam bi as-Sawab.


[1] Usman.Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras. 2009, hal.220.
[2] Ibid.hal.220.
[3]  Muhammad Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, hal. 70.
[4] Usman. Hal 220-221.
[5] Muhammad Chirzin  Opcit, Hal, 71.
[6] Muhammad Chirzin, op.cit, hal 73.
[7] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i. 2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka setia, hal. 201.
[8] Usman, opcit, hal 228.
[9] Usman, Opcit, hal 237-239
[10] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i. 2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka setia, hal. 206.

[11] Drs. Miftah Faridl, Drs. Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung, Pustaka, 1989, hlm., 241
[12] Drs. Moh. Chotib, Buku Ajar Ulumul Qur’an, Stain Pemekasan Press, 2006, hlm.265.
[13] Muhammad chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[14]Yusuf, Qardhawi. 1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press. hal. 226.
[15] Prof. Dr. H. Abdul Djalal H. A., Ulumul Qur’an, Surabaya, Dunia Ilmu, 1998, hlm., 262.
[16] Drs. Miftah Faridl, Drs. Agus Syihabudin, Al-Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung, Pustaka, 1989, hlm., 167



Tidak ada komentar:

Posting Komentar